Musim hujan telah tiba. Hampir setiap hari hujan turun membasahi bumi. Ada seorang anak laki-laki yang senang sekali bila hujan turun. Anak itu bernama Tulab.
Bila hujan turun, Tulab akan segera berlari menuju beranda rumahnya. Pertama-tama yang akan ia lakukan adalah menjulurkan tangannya agar basah terkena air hujan. Setelah itu, ia menjulurkan kaki kanannya. Sama, agar basah terkena air hujan. Bila Mama tak melihatnya membasahi tangan dan kakinya dengan air hujan, ia akan segera hujan-hujanan namun, jika Mama mengetahui hal itu, Mama langsung menyuruh Tulab untuk mandi dan keramas. Tentu saja sambil mengomel. Tulab hapal benar apa isi omelan Mamanya. Biasanya Mama mengomel, “Tulab, sudah berapa kali Mama bilang, jangan hujan-hujanan. Nanti kamu sakit, yang repotkan pasti Mama juga.”
Siang ini hujan kembali turun. Belum sempat Tulab keluar rumah, Mama sudah berdiri di dekatnya. “Mau kemana Lab?” tanya Mama penuh selidik. “He…he…he…” Tulab hanya tersenyum. “Tulab, di luar hujan. Ayo, lebih baik kamu tidur siang!” ucap Mama sambil menggandeng Tulab menuju kamarnya. “Jangan lupa baca doa sebelum tidur ya!” pesan Mama sambil menutup pintu kamar Tulab lalu menuju dapur.
Beberapa saat kemudian pintu kamar Tulab terbuka perlahan-lahan. Ia berjalan mengendap-endap menuju pintu depan. Semua dilakukan dengan perlahan dan hati-hati agar tak diketahui Mama.
“Yes!!!” ucap Tulab tertahan saat berhasil keluar rumah. Di seberang jalan ia melihat teman-temanya sedang asyik hujan-hujanan. Ada Aji, Uwi dan Salim. Tulab segera bergabung dengan mereka. “Eh, kita hujan-hujanannya jangan di sini. Nanti aku ketahuan Mama.” kata Tulab. “Ya sudah kita jalan ke sana aja yuk!” usul Aji. Semua setuju. Mereka berjalan, sesekali berlari dan melompat bila ada genangan air. Sehingga air tersebut muncrat mengenai mereka sendiri. Lalu mereka tertawa riang.
Kelima anak itu berjalan dan terus berjalan. Tanpa mereka sadari kini mereka sudah berada di dekat persawahan. “Asyik !!!” seru mereka sambil merentangan kedua tangan mereka serta menengadahkan kepala mereka. Membiarkan air hujan langsung membasahi wajah mereka.
Tiba-tiba, petir menyambar, guntur menggelegar dan hujan pun kian deras. Langit semakin gelap. Mendengar suara guntur yang menggelegar mereka kaget dan ketakutan. “Aku takut. Aku mau pulang.” suara Aji terdengar bergetar. “Ayo kita pulang saja sekarang!” komando Uwi. Serempak mereka berlari pulang.
Hujan semakin deras. Jalan yang mereka lewati tadi mulai tergenang air. Mereka berlari dan terus berlari. Tulab jauh tertinggal karena badannya yang paling gendut dibandingkan keempat temanya yang lain. Ia terus berlari. Matanya perih terkena air hujan. Badannya menggigil kedinginan.
Tiba-tiba, “Bruuuuk!!!” Tulab terjatuh. Kaki kirinya masuk ke dalam jalan yang berlubang. Karena jalan yang tertutup air, ia tidak menyadari ada lubang disana. “Mama…” Tulab menangis kesakitan. Ia meraba kaki kirinya. Perih, kakinya terluka. “Ma, Tulab mau pulang.” isaknya. Ia berusaha untuk bangkit. Ia memandang sekelilingnya. Sepi, tak ada seorang pun yang melintasi jalan itu. Semua teman sudah jauh meninggalkannya.
“Tolong…tolong…” teriaknya meminta tolong. Namun sia-sia, tak seorang pun yang mendengar teriakannya. Tulab semakin ketakutan. Ia berjalan tertatih-tatih sambil menangis tersedu-sedu. “Hu...Hu… Mama tolong Tulab Ma! Tulab janji tidak akan nakal lagi!” teriaknya.
Beberapa saat kemudian sebuah becak melaju lambat menuju ke arahnya. Tulab melambai-lambaikan tangannya. “Tolong…” teriaknya lagi. Becak berhenti di dekat Tulab. “Tolong Pak! Hu…hu…” tangisnya pecah kembali. “Lho kamu di sini lagi ngapain? Kok sendirian?” tanya Pak Becak. “Aku mau pulang Pak. Tapi ngga tahu jalan pulang. Hu…hu…” jawab Tulab. “Ya sudah ayo naik, Bapak antar pulang! Tapi rumahmu dimana?” tanya Pak Becak itu lagi. “Rumahku di jalan durian Pak” ia bergegas menaiki becak itu. Beruntung Tulab bertemu dengan tukang becak yang baik hati.
Di depan rumah, Mama mondar-mandir. Wajahnya terlihat sangat cemas. Tiba-tiba sebuah becak berhenti tepat di depan beranda.Tulab turun dipapah oleh Pak Becak. “Ya Allah Tulab…” teriak Mama panik melihat kondisi Tulab. Mama langsung memeluk Tulab. “Tulab, dari mana saja kamu Nak? Mama cemas sekali.” ucap Mama sambil membelai rambut Tulab. Tangis Tulab kembali pecah. “Maafkan Tulab ya Ma! Ini semua akibat kalau tidah mendengarkan nasehat Mama. Tulab janji ngga akan mengulanginya lagi. Tulab ngga akan hujan-hujanan lagi.” janji Tulab. Mama terharu. Mama merasa Tulab telah mendapatkan pelajaran yang berharga dari kejadian ini.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Becak, Mama segera mengajak Tulab masuk. Ia berjalan tertatih-tatih menahan kaki kirinya yang sakit, matanya yang perih, badannya yang menggigil kedinginan dan, “Hatchiiiiii…” ia bersin. Itulah akibatnya bila tidak mendengar nasehat orang tua.
Cicierahma, 2011
Cicierahma, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar